Kondisi perekonomian dunia yang lesu sejak tahun lalu berimbas cukup signifikan terhadap industri perkebunan Indonesia. Lesunya perekonomian negara-negara Eropa dan Amerika, akibat krisis ekonomi, menyebabkan turunnya harga komoditas dan permintaan produksi perkebunan kelapa sawit, karet, the, yang dihasilkan oleh perusahaan perkebunan dalam negeri. Penurunan permintaan tersebut tentu saja berdampak pada penurunan volume ekspor dan juga tingkat harga jual komoditas dalam negeri maupun luar negeri. Sebagai contoh adalah CPO, komoditas ini sebagian besar di ekspor ke luar negeri dan besaran tingkat harga sangat dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran pasar internasional. Kemudian gula, walaupun hamper semua produksi gula digunakan untuk konsumsi dalam negeri tetapi besaran tingkat harga juga dipengaruhi oleh perdagangan internasional karena suplai dalam negeri masih ditopang oleh gula impor.
Kondisi penurunan
permintaan dan besaran tingkat harga tersebut sangat memukul perusahaan-perusahaan
perkebunan. Mereka mengalami kerugian yang cukup besar dari penjualan komoditas
yang mereka hasilkan kaena permintaan
dan tingkat harga tidak sesua dengan yang diharapkan. Tetapi kabar yang cukup
menggembirakan adalah kondisi ini diprediksi oleh para ekonomtidak akan
berlangsung lama, karena pada akhir tahun ini saja perekonomian Amerika telah
berangsur pulih kembali dan diharapkan
kondisi yang sama akan terjadi pada perekonomian Eropa tahun depan.
Di dalam negeri perekonomian Indonesia terus mengalami
pertumbuhan yang cukup tinggi selama beberapa tahun ini. Rata-rata pertumbuhan
perekonomian Indonesia sebesar 6% per tahun dan tetap stabil walaupun ekonomi
dunia mengalami kelesuan. Perekonomian Indonesia dapat terus tumbuh salah satu
faktor utamanya adalah tingkat konsumsi domestik yang besar. Produksi yang
dihasilkan sebagain besar dapat diserap oleh pasar domestic sehingga
perusahan-perusahaan dapat terhindar dari kerugian akibat perekonomian dunia
yang lesu. Tetapi dampak dari pertumbuhan ekonomi tersebut adalah para pekerja meminta
perusahaan untuk menaikkan upah mereka sehingga kue yang didapat dari
pertumbuhan ekonomi tersebut juga mereka rasakan.
Upah pekerja setiap tahun senantiasa mengalami kenaikan
untuk mengimbangi dengan tingginya angka inflasi. Tercatat sejak tahun 2010-2013
secara berturut turut sebesar 4,5 %,
8,9%, 10,6%, 18%. Tetapi angka tersebut adalah angka rata rata dari kenaikan
upah minimum di setiap daerah. Jika kita merujuk data yang dimiliki oleh BPS
maka akan kita dapatkan angka kenaikan upah minimum yang bervariasi dari setiap
daerah. Sebagai contoh upah minimum DKI
tahun 2013 naik kurang lebih 30% jauh lebih tinggi dibanding rata rata kenaikan
tahun 2013 yang sebesar 18%. Tentu saja kondisi ini kurang menguntungkan bagi
industri perkebunan, karena trend kenaikan pendapatan cenderung fluktuatif dan
sangat tergantung oleh faktor eksternal sedangkan kenaikan upah akan senantiasa
terjadi setiap tahun. Apalagi ditambah karakteristik dari industri perkebunan
yang padat karya, kenaikan upah akan sangat mempengaruhi harga pokok produksi
perusahaan. Kondisi ini membuat cemas perusahaan perkebunan karena biaya tetap
yang harus dikeluarkan untuk upah dan gaji tenaga kerja akan semakin besar dari
tahun ke tahun. Yang dikhawatirkan adalah biaya pokok produksi akan berada pada
titik yang hamper sama dengan harga jual atau justru lebih tinggi, jika kondisi
tersebut terjadi maka perusahaan akan mengalami kerugian. Pertanyaan yang
muncul kemudian adalah bagaimana strategi kompensasi perusahaan menyikapi
kondisi tersebut? Berlanjut di Bagian 2.
No comments:
Post a Comment