Dalam sebuah pertemuan manajer-manajer SDM perusahaan perkebunan beberapa waktu yang lalu, penulis yang pada waktu itu kebetulan menjadi moderator dalam Focused Group Discussion (FGD), berkesempatan membahas isu-isu terkini terkait dengan pengelolaan sumber daya manusia. Ketika mulai sesi brainstorming setiap peserta diskusi dipersilakan memaparkan kondisi SDM saat ini dan tantangannya ke depan. Dari sekitar 10 peerta diskusi tnpa diduga muncul suatu keresahan bersama mengenai semakin lunturnya sikap peduli terhadap lingkungan kerja. Dan yang menarik lagi Isu tersebut muncul tidak hanya di perusahaan perkebunan yang ada di Jawa saja tetapi juga dirasakan oleh perusahaan-perusahan perkebunan di daerah Sumatera dan Kalimantan. Mereka menceritakan bahw sudah sekitar dua tahun terakhir ini ada kecenderungan karyawan terlihat mulai mengalami degradasi (basaha mereka adalah erosi) sikap peduli terhadap apa yang terjadi di tempat kerja. Misalnya saja ketika bekerja di dalam pabrik, karyawan yang mendapat tugas sebagai oeprator ataupun technician akan cenderung membiarkan saja kebocoran uap ataupun tetesan air ataupun bahan produksi ketika proses produksi sedang berjalan, mereka baru akan memperhatikan jika mendapat teguran dari atasan ataupun orang lain yang memiliki pengaruh lebih tinggi, jika tidak maka kebocoran ataupun looses yang terjadi akan cenderung diabaikan. Ketika bekerja di lapangan, karena cenderung mengbaikan norma-norma yang menjadi acuan baku dalam menlakukan proses kerja. Di kantor fenomenanya lain lagi, karyawan cenderung tidak mau tahu terhadap pemborosan sumberdaya yang dipakai, misalnya menggunakan kertas baru untuk menyusun draft laporan, atau membiarkan AC dan lampu dalam ruangan tetap menyala walaupun tidak ada orang yang berada di ruangan tersebut sehingga menimbulkan pemborosan listrik.
Friday, May 23, 2014
Monday, May 19, 2014
When IT doesn't matter anymore
Sejak ditemukan microprocessor oleh Ted Hoff tahun 1968, pola bisnis di dunia mengalaim transformasi, hal tersebut ditandai dengan munculnya desktop computers, local dan wide area networks, enterprise software, and the internet. Saat ini hampir tidak ada yang membantah bahwa teknologi informasi menjadi tulang punggung perdagangan dunia saat ini. Perusahaan melihat bahwa teknologi informasi menjadi sumberdaya yang menentukan dalam mencapai kesuksesan
Pentingnya IT juga telah mengubah perilaku top manager. Chief executives saat ini
rutin berbicara mengenai strategic value
dari teknologi informasi, tentang
bagaiman mereka dapat menggunakan TI untuk memenangkan persaingan, bagaimana mendigitalisasi model bisnis mereka.
Sebagian besar ari mereka memiliki jadwal diskusi tetap denga ahli IT
perusahaan, dan banyak juga yang mempekerjakan
perusahaan konsultan untuk memberikan fresh ide tentang bagaimana mendayagunakan invetasi TI mereka ntuk
memperkuat daya beda dan keunggulan terhadap pesaing.
Tetapi pemahaman bahwa TI adalah salah satu pilar
strategis dalam membangun daya beda dan keunggulan bersaing terbukti saat ini
mulai kehilangan relevansinya. Keunggulan bersaing hanya dapat tercipta karena
kita memiliki sumberdaya atau menggunakan sumberdaya yang terbatas. Atau
perusahaan dipandang memiliki keunggulan kompetitif jika dapat melakukan
sesuatu yang perusahaan lain tidak bisa melakukannya. Tetapi saat ini teknologi
TI sudah menjadi komoditas dan harganya semakin cepat turun. Sehingga core function TI seperti data storage, data processing dan data transport menjadi tersedia dengan mudah dan dapat digunakan
oleh semua orang. Dalam kacamata strategik sumberdaya TI saat ini menjadi tidak
lagi terlihat tingkat strategisnya.
Dalam sudut pandang praktek industri, jika suatu
sumberdaya sangat menentukan bagi pemenangan suatu persaingan tetapi tidak
bertalian dengan strategi, maka yang muncul adalah resiko di banding
keunggulan. Perlombaan penggunan TI menjadi sangat membosankan bagi perusahaan
karena TI sudah menjadi komoditas, dan harganya akan jatuh dengan cepat seiring
dengan semaik cepat ditemukanya teknologi yang lebih baik,dan lebih efisien.
Bagaimana Berkompromi Dengan Slacker?
Karena tema ini menarik bagi saya, maka kali ini saya akan kutipkan artikel yang ditulis oleh Carolyn O’Hara yang dimuat di blog.hbr.org. Ulasan mengenai bagaimana memahami rekan kerja pemalas (slacker) ini cukup menggelitik dan di sini saya mencoba mengadaptasi artikel tersebut dalam konteks Indonesia sehingga diharapkan dapat lebih mudah dipahami. Jika anda ingin membaca artikel yang asli, silakan klik link di ujung tulisan ini.
Tidak ada yang suka dengan rekan kerja yang malas dalam bekerja. tetapi ketika kita menghadapi kenyataan bahwa rekan kerja kita ternyata sering pulang lebih awal, susah untuk diajak menepati deadline pekerjaan, tidak memberikan dukungan penuh terhadap kesuksesan pekerjaan, sebagian besar kita tidak bisa menentukan atau mengambil langkah yang terbaik. Apakah harus bicara dengan atasan? atau anda biarkan dan anda mengurusi diri anda sendiri?
Apa kata ahli Coaching?
Kita semua pasti memiliki pengalaman bekerja dengan seseorang yang mungkin bisa dikatakan kurang bertanggungjawab karena perilakunya seperti - seorang rekan yang nongkrongin Facebook sepanjang hari, mengambil jam makan siang istirahat lebih dari dua jam, dan tidak pernah memenuhi deadline pekerjaan yang telah ditetapkan. Tapi walaupun menjengkelkan, tetapi Anda tidak harus menjadi seperti polisi pengawas perilaku kecuali sikap malas (slacking) mereka secara fisik dan material mempengaruhi pekerjaan Anda. Susan David , pendiri Harvard / McLean Institute of Coaching, mengatakan : " Jika rekan kerja Anda berperilaku slacking dan tidak mempengaruhi kemampuan Anda untuk melakukan pekerjaan dengan baik atau kemampuan Anda untuk maju dalam organisasi , maka sebaiknya Anda fokus pada pekerjaan Anda sendiri . " tetapi jika pekerjaan Anda menjadi susah dan berat karena perilaku rekan Anda , saatnya untuk bertindak . Berikut ini adalah cara untuk menangani situasi sulit ini .
Labels:
behavior,
co-worker,
coaching,
experiences,
hbr,
hcm,
health,
HR,
hrm,
hubungan baik,
human,
Human Capital,
Human Resources,
industri,
Innovation,
slacker
Friday, May 16, 2014
Execution Strategy
Seringkali para pelaku bisnis menduga bahwa kekalahan dalam
bersaing di dalam usaha disebabkan oleh lemahnya strategi. Sehingga untuk itu
diperlukan pengembangan strategi yang handal. Pada umunya perusahaan memerlukan
waktu berbulan bulan dan melibatkan para karyawan yang paling pintar untuk
untuk merumuskan strategi yang handal. Mereka memulainya dengan scanning
lingkungan eksternal, kemudian menganalissi kekuatan dan kelemahan sumberdaya
yang dimiliki dan selanjutnya mengembangkan strategi. Strategi yang dikembangkan
pun tidak tanggung-tanggun, mulai dari
strategi korporasi, kemudian diturunkan ke strategi fungsional seperti keuangan,
produksi, pemasaran, dan SDM. Setelah strategi disusun perusahaan berharap bahwa ke depan daya saing perusahaan dapat
semakin meningkat dan keuntungan perusahaan dapat semakin tinggi.
Tetapi harapan tersebut sering kali tidak bisa diwujudkan
dengan baik. Perusahaan seringkali lupa atau memiliki keterbatasan dalam
mengimplementasikannya. Arahan yang disampaikan oleh BOD dalam setiap rapat dan
pertemuan sering tidak bisa dijalankan secara efektif di lapangan sehingga
hasil tidak seperti yang diharapkan. Hal tersebut seringkali berulang sehingga
strategi yang sebelumnya terlihat sangat bagus ketika disusun dan diyakini
dapat menjadikan perusahaan lebih baik tetapi pada saat implementasinya tidak
bisa seperti yang direncanakan. Pada posisi ini dapat dikatakan bahwa strategi
bukanlah satu-satunya penyebab kekalahan perusahaan dalam bersaing. Tetapi ada
satu lagi faktor yang sangat penting yaitu kemampuan eksekusi. Para CEO
mengakui bahwa untuk melakukan eksekusi strategi sampai mencapai hasil yang
diinginkan, tingkat kesulitannya melebihi kesulitan dalam menyusun strategi.
Friday, May 9, 2014
Seberapa Sehat Organisasi Anda?
Banyak pimpinan perusahaan saat ini
berlomba-lomba untuk menunjukkan kinerja yang luar biasa untuk menarik hati
para pemegang saham. Hal ini memang menjadi tuntutan, karena para pemegang
saham selalu mengevaluasi sejauh mana peningkatan kinerja perusahaan dari waktu
ke waktu. Ukuran kinerja yang yang umum dipakai adalah ukuran kinerja
finansial. Tetapi ternyata fakta menunjukkan bahwa pencapaian kinerja fiansial saja
belum cukup. Kinerja finansial tidak menjamin keberlanjutan perusahaan di masa
yang akan datang. Banyak perusahaan yang tercatat memiliki kinerja yang luar
biasa akhirnya tenggelam oleh zaman. Fakta tersebut bisa diamati ketika kita
melihat list perusahaan-perusahaan yang masuk dalam Forbes 500 selama 30 tahun
terakhir atau mungkin pada periode waktu yng lebih pendek. Akan kita jumpai
bahwa perusahaan-perusahaan yang masuk dalam list tersebut saat ini mungkin
namanya tidak pernah kita dengar lagi. Oleh sebab itu disamping kinerja
perusahaan juga perlu memikirkan bagaimana keberlangsungan usaha di masa yang
akan datang.
Monday, May 5, 2014
Apa Yang harus Dilakukan Sebelum Memutuskan Menambah Karyawan?
Pertanyaan:
Ada pertanyaan dari sebuah perusahaan mengenai permasalahan yang sedang mereka hadapi. mereka akhir akhir ini sering mendapatkan surat dari bagian produksi yang ada di daerah yang isinya adalah permohonan ijin untuk melakukan penambahan karyawan. Berbagai macam alasan dikemukakan oleh unit usaha seperti banyaknya karyawan yang memasuki masa pensiun, penambahan peralatan, sampai dengan kesulitan untuk mendelegasikan pekerjaan kepada bawahan karena tidak adanya bawahan yang dianggap kompeten. Kemudian mereka bertanya kira kira apa yang sebaiknya dilakukan oleh perusahaan?
Jawaban:
Kondisi demikian terjadi karena dua hal. Pertama, perusahaan belum memiilki standar formasi yang jelas dan disepakati oleh semua pihak. Standar formasi adalah jumlah maksimal karyawan untuk masing masing pekerjaan yang dibutuhkan untuk menjalankan proses bisnis secara afektif dan efisien. Jika perusahaan belum memiliki standar mengenai jumlah formasi karyawan maka setiap bagian dapat mengembangkan standar sendiri-sendiri menurut kebutuhan mereka. Kedua, perusahaan telah memiliki standar formasi tetapi standar tersebut telah obsolete (kadaluwarsa), maksudnya standar formasi tersebut tidak lagi cocok dengan tuntutan implementasi strategi bisnis perusahaan. Misalnya strategi perusahaan 2 tahun ke depan adaah ekspansi pasar, maka dengan standar formasi yang ada saat ini jumlahnya menjadi tidak relevan lagi mengingat bagian produksi harus menambah kapasitasproduksinya sehingga mungkin perlu menambah shift kerja dan bagian pemasaran juga perlu menambah marketingnya sehingga dapat menjangau pangsa pasar yang lebih luas. Kondisi tersebut kemudian yang mendorong mereka untuk meminta tambahan karyawan agar target yang ditetapkan atas mereka dapat tercapai.
Manajemen seringkali tidak bisa menjawab permintaan tersebut karena memang tidak ada dasar untuk menolak ataupun menyetujui. Di sisi lain manajemen mendorong untuk menggunakan SDM yang efisien agar menghemat biaya tetap, di sisi lain tuntutan dari bagian untuk menambah karyawan agar target yang ditetapkan oleh perusahaan dapat tercapai. Sebagai jalan keluar maka bagian SDM bisa melakukan penyempurnaan standar formasi terlebih dahulu sebelum memutuskan menyetujui atau menolak permintaan penambahan karyawan tersebut. langkah-langkah penyemprunaan standar formasi adalah sebagai berikut:
Labels:
Aksi Korporasi,
efisiensi,
execution,
experiences,
hcm,
HR,
hrm,
human,
Human Capital,
IHCS,
inovation,
organisasi,
standar formasi,
standar kompetensi,
struktur organisasi,
workforce planning
Subscribe to:
Posts (Atom)